Minggu, 07 Oktober 2007
SAJAK BERSERAK
: Anisa, Rafni, Raihana
Ingatkah, kenangan indah yang kita gubah berupa sampiran puisi
saat kita menjelajahi kota ini tanpa alas kaki
sambil berlari, peluhku kau seka dengan ujung jemari
mencumbu gerah, tengah hari wajahmu memerah
sepanjang jalan kota ini dipenuhi senyuman perempuan
Percuma kuhasut burung-burung untuk ikut murung
mungkin aku juga tak bisa meminta angin mengabulkan ingin
seperti rembulan yang disisihkan bintang
Aku juga sendirian, dan berbilang:
perempuan berkerudung, bayang-bayangmu terpasung, rinduku mengapung
1.
Merengkuh mendung, di gerbang stasiun aku belajar berhitung
satu-dua-tiga, awal hingga ujung
kereta dari Bandung urung menunjukkan hidung
2.
Selepas senja, biasanya bersamamu merengkuh gulita
kita bersila berdua di kakilima pori-pori kota
takkan beranjak, sebelum tercipta sebait sajak
sejak aku memetakan jarak, kau malah tak tampak
3.
Sepulang kerja aku bercengkrama dengan bocah penjual gula-gula
bertanya: Adik hari ini berapa bus yang masuk kota
lorong-lorong terminal fasih kuhapal
tapi tak ada wanita yang turun dari kereta Jogya
Perempuan. hanya pada engkau
Aku bisa bergericau tentang Riau yang kian risau
engkau tau, Pekanbaru tak seperti dulu
sejauh mata memandang
gedung-gedung tinggi menjulang
pongah menantang siang
ah, apakah derai tawa kita sirna dengan pesatnya perkembangan kota
atau kita harus bersuka?
Pada akhirnya
aku merasa asing dengan bising metropolis yang selalu basah dengan gerimis
Mengulang senandung yang kubingkai di senja yang murung:
perempuan berkerudung, bayang-bayangmu terpasung, rinduku mengapung
Pekanbaru, ruang waktu 07
MEMBACAMU
: Am
1.
Membacamu,
dari setiap larik sajak yang terbit acak
di halaman budaya koran ibukota
aku bagai bocah yang baru belajar bahasa
mengeja setiap kata yang tersaji di meja
dan bersorak gembira ketika sudah fasih membaca
Sejak sajak pertama
aku tak hanya membaca aksara
yup, ada degup yang hidup
begitu aroma ini terhirup
kutau, semilir bayu menerbangkannya menuju hulu
menembus pintu dan menetap di indera pembau
ah, semerbak darah bergetah dari sajak patah
kawan, masihkah kau habiskan senja dengan menyeduh luka dalam cawan?
dan di sini aku perempuan kesekian
yang memujamu tanpa alasan
Kukupas kata-kata kias sekelas majas
Sejak itu sajakmu memetakan jejak di benak
2.
Setelah membacamu, resah bergelayut menembus ingatan pupus
barangkali engkau lagi terdampar di oase
hingga selepas sore engkau kehabisan kata-kata
kerap lupa menerjemahkan setiap huruf yang gelisah dalam paragraf
engkau panik, begitupun aku yang selalu bercinta dengan larik sajakmu yang menarik
hingga aku lupa aku dicipta oleh-Nya bukan hanya untuk mencinta:
masihkah kumemuja rindu, jika larik sajakmu membunuhmu.
Membacamu, seperti memagut rembulan, aku tertawan berbulan-bulan, kesepian.
Pekanbaru, ruang waktu 07
JEJAKMU
: Rp
Aku tergerak memunguti jejakmu
yang pernah kau serak, lelaki
bukan hanya satu hari
melebihi seribu hari
hujan takkan mampu menyapu
semilir bayu takkan mengibas debu
kuingat ada sekat yang kupaku
terpetakan jejakmu
jejak yang banyak
dahulu itu
Terjebak celoteh setan-setan yang merayu
tergerak aku memunguti jejakmu
Bukankah jalan masa lalu telah buntu?
Pekanbaru, pagi bisu 07
ZIARAH HARI, ZIARAH HATI
Sampaikan pada pagi
aku letih mencari arti diri
tertindas keegoan seribu paras
mengibas cemas, usia telah terampas
Sampaikan pada siang
kutanam mentari akalpun terpanggang
mencari dingin, aku lalu-lalang
ah, malah jadi tontonan orang-orang
Sampaikan pada senja
nikmatnya melumat luka
ditemani sejuta wanita
yang minim busana tanpa mukena
Sampaikan pada malam
ambisiku telah tenggelam
berdiamlah aku agar gulana redam
ternyata hitam, aku juga yang idam
Kosong satu hari
bolong satu hati
tolong aku mencari
lorong menuju mati
Pekanbaru, pagi bisu 07
DEJAVU
Memanah waktu kuselimuti kalbu
begitu dingin, aku dilumat angin
berhujan salju yang pecah di hulu
membeku…
aku butuh sumbu
dan suluh bambu
Lalu, aku hitung-hitung waktu
begini-begitu
siapakah yang memintal akal
memagar saraf dan memberi kabar pada khilaf
kuasah ingatan, ah yang tersaji catatan-catatan
laporan perjalanan seorang perempuan
Kupanah lagi waktu
25 tahun lalu
tepat dirahim ibu
Berjumbu aku dengan dejavu
Pekanbaru, pagi bisu 07
KISAH USANG
Kisah usang sebelum dikemas
dan redup sebelum bintang-bintang hidup
bercermin aku pada bocah yang bermain
serupa, sama-sama tak bisa mencerna rasa
yang tumbuh dalam tubuh
Kuhapal tak ada kisah berbuah mekar
terjagal kegamangan tumbuh liar
Pekanbaru, pagi bisu 07
Minggu, 12 Agustus 2007
PUISI DIEN ZHURINDAH
PROSA SENJA
Jika menjala senja
satu roman terbuka
menyingkap gelap rahasia
panca indera fasih bercerita
tentang patahan jiwa
pada rangka tanpa sisa
Malaikat penjaga nyawa berdatangan saja
bukankah senja belum teraba?
(Praduga sia-sia, membungkus niat nasuha
pabila merapat ke senja
bukankah takdir usia telah terukir
dahulu ketika bermukim di rahim ibu)
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
KUNJUNGAN
Membuka pagi yang keruh
tergesa aku menyeduh secawan keluh
dan menghidangkan perjamuan tahajud yang absurd
bersama hilangnya bintang
Engkau pun enggan datang
terdekap gelap, aku terjebak pada sebaris jarak
Kunjungilah aku
sedari pagi aku hanya mencumbu bayu
yang kadang datang, kadang berlalu
mungkin aku telah dipermainkan musim
hingga aku tak siap
dijemput ketika hujan lebat
ataupun ditelanjangi terik yang tengik
Sementara aku bermain-main dengan waktu
kehadiran-Mu merasuki ingatan yang tak lagi perawan
telah lalai aku isi buku catatan
yang akan Engkau pinta kemudian
Menguak senja
jejak-Mu terhapus gulita
serupa lukaku yang terbuka
Pesan rawan kusiarkan
menanti kunjungan, memupuk kerinduan
satu waktu kita gantian
aku pasti mengunjungi-Mu
sebagai penghuni baru
di kediaman-Mu yang nyaman
Mengunjungi-Mu
dapatkah kujamah babut taubah?*)
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
*)Pintu surga untuk orang-orang yang bertaubat dan diterima ALLAH SWT.
RASA
Rindu yang kupunya serupa buih di samudera
tak terbaca dalam rimbun kata-kata sahaja
begitupun cintaku pada lima
pada tujuh belas nyawa yang tak terjaga
Pekanbaru, pagi bisu ‘07